Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Tangis Kushayatun Pertahankan Tanah Leluhur Sejak 1887, Heran Tahun 2004 Muncul Sertifikat

Kushayatun nyaris gagal pertahankan tanah leluhurnya yang dititipkan kepadanya sejak ratusan tahun silam.

|
Penulis: Ignatia | Editor: Mujib Anwar
Tribun Solo
KEADILAN BAGI RUMAHNYA - Kushayatun didampingi penasihat hukumnya melaporkan ke Satreskrim Polres Tegal Kota, Senin (6/10/2025). Padahal miliki dan tinggal di tanah leluhur yang diturunkan turun temurun sejak 2021, kini Kushayatun tetap terancam diusir. 

Poin penting:

  • Kushayatun kaget dan merasa tergusur padahal sudah menempati tanah bertahun-tahun silam.
  • Tanah itu berasal turun temurun dari leluhurnya sejak tahun 1887.
  • Kushayatun dan keluarga dibuat kaget dan heran karena tak pernah diberitahu ada sertifikat bukan oleh namanya.

TRIBUNJATIM.COM - Tanah leluhur yang sudah ada sejak ratusan tahun silam akhirnya kini bermasalah.

Tak tahu apa-apa, Kushayatun tiba-tiba tergusur padahal tanah itu sudah ditempati turun temurun sejak tahun 1887.

Kushayatun (65) warga Kota Tegal yang mengaku tergusur dari rumahnya melapor ke Unit 2 Satreskrim Polres Tegal Kota, Senin (6/10/2025).

Dia mengaku rumah yang berada di Jalan Salak 2 RT 02 RW 01 Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal itu sudah ditempati secara turun temurun, sejak 1887.

Rumah tersebut ditempati empat keluarga, lainnya Syafii (72), Saiman (59), dan Farichatun (57).

Kuasa hukum Kushayatun, Agus Slamet mengatakan, pelaporan dilakukan karena proses pembongkaran, pemagaran dan pengosongan rumah tidak memiliki dasar hukum yang tetap dan sah.

Dia menilai, proses paksaan tidak sepatutnya dilakukan. 

“Memang betul pihak pembongkar mengakui memiliki sertifikat. Namun klien kami bersama keluarganya menghuni rumah tersebut sejak 1887. 

Klien kami tidak mengetahui tiba-tiba muncul sertifikat pada tahun 2004,” katanya. 

Agus mengatakan, pembongkaran itu memberikan kerugian besar kepada kliennya.

Baca juga: Belum Bisa Digunakan, Gedung Baru Pengadilan Agama Tuban Senilai Rp34,6 M Masih Tunggu Restu MA

Dari kerugian kehilangan hunian dan kios dagangnya juga hilang.

"Kami menitikberatkan pelaporan ini karena proses pengosongan, pemagaran hingga pembongkaran tanpa mekanisme dari pengadilan," ungkapnya. 

Sebelumnya, seorang pemilik rumah di Kota Tegal melakukan pemagaran sebuah rumah yang telah dibelinya di Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Rabu (1/10/2025).

Rumah tersebut sudah dibeli sejak 21 tahun lalu, pada 2004.

Kushayatun didampingi penasihat hukumnya melaporkan ke Satreskrim Polres Tegal Kota, Senin (6/10/2025).
Kushayatun didampingi penasihat hukumnya melaporkan ke Satreskrim Polres Tegal Kota, Senin (6/10/2025). (Tribun Jateng)

Pemagaran rumah tersebut dibantu petugas keamanan dari Satpol PP Kota Tegal.

Kuasa hukum pemilik rumah, Jefri mengatakan, kliennya melakukan pembelian tanah dan bangunan seluas 383 meter persegi sejak 2004 lalu. 

Tetapi kliennya belum bisa menempati karena ada satu keluarga yang tinggal di sana.

"Kami sudah berupaya melakukan pendekatan dengan menawarkan tali asih dan tempat relokasi. Namun sampai dengan saat ini ditolak," katanya.

Jefri mengatakan, dasar pemagaran berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Akta Jual Beli (AJB).

"Kami melakukan pemagaran dan pengosongan rumah dengan dibantu aparat keamanan. 

Itu dilakukan karena klien kami akan segera menempatinya dan agar tidak ada orang lain yang bisa menempatinya," jelasnya.

Baca juga: Perjuangan Tim Rescue di Balik Puing Ponpes Al Khoziny saat Evakuasi Korban: Kami Tetap Terus Cari

Apa sebenarnya yang membuat rumah pada tahun 1880an itu belum memiliki sertifikat?

Pada tahun 1880-an, belum ada Sertifikat Hak Milik (SHM) seperti yang kita kenal sekarang karena sistem hukum pertanahan Indonesia belum terbentuk karena negara Indonesia sendiri pun belum berdiri.

Saat itu, wilayah Indonesia masih berada di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan sistem hukum tanahnya mengikuti aturan kolonial Belanda, bukan hukum nasional Indonesia. 

Sertifikat Hak Milik merupakan produk dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang baru lahir setelah Indonesia merdeka.

Sebelum itu, sistem hukum yang berlaku di Hindia Belanda bersifat dualistik, yaitu:

  • Hukum tanah Barat (Eropa) untuk orang Eropa dan perusahaan kolonial, berdasarkan Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870).
  • Hukum adat untuk penduduk pribumi, di mana kepemilikan tanah diatur menurut adat dan tidak memiliki bukti tertulis formal seperti sertifikat.
  • Jadi, di tahun 1880-an, belum ada sistem pendaftaran tanah nasional, apalagi bukti hak seperti sertifikat.

Pada tahun 1870, pemerintah Belanda mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) dan Agrarisch Besluit (Keputusan Agraria).

Kedua aturan ini memberi izin bagi orang Eropa untuk menyewa tanah negara (domein van den staat) hingga 75 tahun.

Namun, tanah-tanah milik rakyat (adat) tidak diakui sebagai “milik” secara hukum Barat.

 Jadi rakyat pribumi hanya dianggap “menguasai” tanah secara adat, bukan “memiliki” menurut hukum kolonial.

Akibatnya, tidak ada sertifikat kepemilikan pribadi seperti sekarang—yang ada hanyalah izin sewa (erfpacht) bagi pengusaha atau perkebunan.

Baca juga: Kades Kaget Ngadiyem & Tukimin 7 Tahun Tinggal di Gubuk Reyot Berlantai Tanah: Keburu Viral Duluan

Bagi masyarakat pribumi, kepemilikan tanah pada masa itu diatur oleh hukum adat setempat.

Contohnya:

  • Tanah diwariskan turun-temurun dalam satu keluarga.
  • Pengakuan hak dilakukan melalui kesepakatan komunitas desa, bukan dokumen negara.
  • Bukti penguasaan biasanya berupa kesaksian warga, batas alam, atau tanda tradisional (misalnya pohon batas).
  • Karena itu, masyarakat tidak membutuhkan atau mengenal konsep “sertifikat”. Sistem pendaftaran formal baru diperkenalkan oleh Belanda secara terbatas untuk kepentingan ekonomi kolonial.

 Tujuan utama pendaftaran tanah kala itu: pajak dan kontrol kolonial

Pemerintah kolonial mulai melakukan pendataan tanah (kadaster) sejak pertengahan abad ke-19, tapi tujuannya bukan untuk menjamin hak rakyat, melainkan untuk:

  • Menarik pajak tanah (landrente).
  • Menentukan batas wilayah perkebunan dan tambang yang disewa oleh pihak Eropa.
  • Mempermudah pengawasan dan penguasaan tanah negara.
  • Pendaftaran ini terbatas pada wilayah-wilayah penting ekonomi kolonial (misalnya di Jawa Tengah, Deli, dan Jawa Timur), bukan seluruh tanah rakyat.

Baca juga: Mobil Berlogo SPPG di Sumenep Madura Diduga Digunakan Jualan Sembako, Koordinator SPPG Angkat Bicara

Lahirnya sertifikat tanah baru terjadi setelah 1960

Sistem pendaftaran tanah yang menghasilkan sertifikat hak milik baru resmi diatur setelah UUPA 1960 diberlakukan oleh pemerintah Indonesia merdeka.

UUPA ini menggantikan seluruh hukum agraria kolonial dan menyatukan hukum adat serta hukum Barat ke dalam satu sistem nasional.

Sejak itu, setiap orang dapat memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan sebagainya—semuanya dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Berita viral lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved