Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Surabaya

Pasal 492 KUHP Baru Dikritik, Pelaku Tipu Gelap Hanya Dipidana, Tak Wajib Ganti Rugi: Tak Adil

Praktisi hukum Johan Widjaja melontarkan kritik terhadap Pasal 492 KUHP baru yang akan berlaku pada 2026, sebagai pengganti Pasal 378 tentang penipuan

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Samsul Arifin
istimewa
Pengacara Johan Widjaja saat mempresentasikan Undang-Undang KUHP baru yang akan berlaku sejak 2026 mendatang. 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Tony Hermawan

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Praktisi hukum Johan Widjaja melontarkan kritik terhadap Pasal 492 KUHP baru yang akan berlaku pada 2026, sebagai pengganti Pasal 378 tentang penipuan

Ia menilai pasal tersebut gagal memberikan keadilan bagi korban, sebab hanya fokus pada hukuman penjara tanpa mewajibkan pelaku membayar ganti rugi atas kerugian materiil.

"Pasal lama dan baru hampir sama, harus direkonstruksi!," tegas Johan.

Johan menuturkan, korban tipu gelap, seringkali mengalami kerugian finansial besar. Namun, hakim-hakim di Indonesia biasanya hanya memberi vonis hukuman badan kepada pelaku. 

Sedangkan, korban jika ingin mendapatkan ganti rugi  harus menempuh jalur perdata.

Baca juga: 29 Warga di Desa Gresik Tertipu Koperasi Simpan Pinjam, Diimingi Bunga Tinggi, Rugi Miliaran Rupiah

Proses perdata pun membutuhkan waktu panjang. Sebab, perkara pidana dan perdata tidak bisa berjalan bersamaan. 

Otomatis jika korban menggugat perdata maka harus terlebih dahulu menunggu putusan berkekuatan hukum tetap atau inkracth.

"Ini tidak adil!, dalam tanda kutip hak-hak pelaku seolah dimanjakan,"  ujarnya.

Baca juga: Pengusaha Katering Rugi Rp 3 Juta karena Pesanan Makan Bergizi Gratis Fiktif, Sudah Siap 80 Persen

Johan menjelaskan, sebenarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023  mengatur pelaku tindak pidana wajib membayar denda yang diserahkan kepada negara. 

Namun, undang-undang tersebut tidak mengatur kewajiban pelaku untuk membayar ganti rugi kepada korban. 

Kondisi ini berlaku pada undang-undang yang saat ini masih menjadi pedoman seluruh pengadilan. Berdasarkan survei di Pengadilan Negeri Surabaya, Sidoarjo, dan Malang, Johan menemukan bahwa hakim enggan memberikan vonis ganti rugi karena tidak adanya aturan yang mewajibkan hal tersebut.  

Baca juga: Pemilik Ponpes Ketahuan Punya Uang Rp 260 Juta Palsu, Korban Penipuan Transfer Agar Petinya Terbuka

Berbeda dengan kasus korupsi, terdakwa biasanya diwajibkan membayar kerugian negara, bahkan aset-aset juga disita. 

Dia mengusulkan agar vonis demikian bisa  diterapkan juga pada kasus penipuan.  

Johan sedang getol mengupayakan agar  DPR RI melakukan rekontruksi. Itu dibuktikan saat menyelesaikan pendidikan S3 jurusan Hukum, ia mengambil Disertasi dengan judul Rekontruksi Pengaturan Pembayaran Ganti Rugi Kepada Korban Penipuan Berbasis Keadilan. 

Baca juga: Siasat Licik Wanita Raup Rp30 Juta Tipu Nenek-nenek Penerima Bansos, Pura-pura Jadi Petugas Dinsos

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved