Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Polemik Larangan Impor Pakaian Bekas

Respon Pelaku Thrifting Surabaya Soal Larangan Impor Baju Bekas: Seleksi Ketat 'Sampah Tekstil'

Di tengah sorotan praktik impor pakaian bekas, pelaku usaha thrifting di Surabaya, Hari Setiawan, berharap pemerintah tak serta-merta melarang

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/FIKRI FIRMANSYAH
THRIFTING BERNILAI TINGGI - Hari Setiawan, pelaku usaha thrifting asal Surabaya dengan nama toko YONKRU MAMEN menata koleksi kaos band lawas yang dijualnya secara daring. Meski berasal dari barang preloved, produk thrifting bernilai tinggi seperti rilisan resmi tur musik luar negeri kini kian diminati pembeli, bahkan hingga mancanegara.  

“Kalau di dunia thrifting ada istilah grade kaki, grade badan, dan grade kepala. Yang disebut grade kaki itu ya barang rusak, bolong-bolong, nggak layak pakai. Nah, yang kayak gitu memang sebaiknya dilarang,” jelasnya.

Namun, ia berharap pemerintah tidak menggeneralisasi semua impor pakaian bekas. Barang-barang branded yang masih layak pakai, bahkan bernilai tinggi, menurutnya justru bisa menjadi alternatif gaya hidup berkelanjutan.

Baca juga: Pedagang Thrifting Banyuwangi Kecewa dengan Larangan Impor Baju Bekas, Minta Pemerintah Lebih Bijak

“Kalau barang yang branded, rilisan resmi, itu malah bagus. Kenapa harus dilarang? Kan bisa diseleksi aja, bukan dilarang total,” katanya.

Hari juga menekankan bahwa sebagian besar pelaku usaha thrifting tidak beroperasi dalam skala besar seperti importir. Banyak di antara mereka yang hanya membeli beberapa potong barang dari luar negeri untuk dijual kembali secara terbatas.

“Aku ambilnya paling cuma satu dua potong, selektif banget. Jadi bukan kayak impor bal-balan besar. Ini lebih ke koleksi pribadi yang akhirnya dijual lagi,” terangnya.

Sebelum menekuni usaha thrifting, Hari sempat mencoba membuat brand lokal sendiri. Namun biaya produksi yang tinggi membuatnya kesulitan bersaing di pasar. Thrifting, menurutnya, menjadi jalan tengah antara passion di dunia fashion dan peluang bisnis yang realistis.

“Kalau bikin brand sendiri itu berat, modal besar, dan belum tentu laku. Tapi kalau thrifting, kita jual barang yang sudah punya nama dan sejarah,” ujarnya.

Kini, Yonkru Mamen telah menjadi salah satu akun thrifting yang cukup dikenal di Surabaya.

Meski dijalankan secara mandiri dari rumah, Hari bertekad menjaga kualitas barang dan kepercayaan pelanggan. Ia pun menilai, pemerintah seharusnya mendukung pelaku usaha mikro seperti dirinya, bukan justru mematikan kreativitas dengan kebijakan yang terlalu keras.

“Aku bukan menolak aturan pemerintah. Tapi kalau bisa, kebijakannya jangan pukul rata. Pilah saja mana yang sampah, mana yang punya nilai. Karena banyak juga pelaku thrifting yang niatnya positif, bukan sekadar cari untung,” pungkasnya.

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved