Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Kepsek SD Bantah Ancam Wali Murid karena Protes soal Beli LKS Rp 140 Ribu: Guru Tidak Boleh Dendam

Protes sejumlah wali murid soal sekolah jual LKS atau Lembar Kerja Siswa Rp 140 ribu akhirnya mendapat tanggapan.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
KOMPAS.com/ALBERTUS ADIT
SEKOLAH JUAL LKS - Foto ilustrasi terkait berita polemik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) Rp 140.000 di SDN 017 Sungai Pinang, Samarinda, Kalimantan Timur. Pihak sekolah menegaskan buku itu bersifat opsional, bukan kewajiban, setelah diprotes sejumlah wali murid. 

TRIBUNJATIM.COM - Protes sejumlah wali murid soal sekolah jual LKS atau Lembar Kerja Siswa Rp 140 ribu akhirnya mendapat tanggapan.

Polemik ini diketahui terjadi di SDN 017 Sungai Pinang, Samarinda, Kalimantan Timur.

Shanty (32), seorang wali murid mengaku diminta membeli tujuh buku LKS senilai Rp 140.000.

Padahal, sebelumnya pemerintah telah menegaskan bahwa LKS gratis.

Selain itu, ia juga mengaku mendapat ancaman hingga dibentak guru.

Kini, pihak sekolah menegaskan buku LKS itu bersifat opsional, bukan kewajiban.

Wali Kelas 2B, Umi Maulidah, mengatakan pengadaan LKS berawal dari permintaan sebagian orang tua yang ingin bahan belajar tambahan karena distribusi buku Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) gratis dari pemerintah terbatas.

“LKPD dari pemerintah untuk kelas 2 hanya ada 30 eksemplar, sedangkan jumlah siswa 56 orang. Jadi kami menawarkan buku pendamping berupa LKS bagi orang tua yang mau saja. Tidak ada paksaan,” kata Umi, Senin (29/9/2025), seperti dilansir dari Kompas.com.

Harga LKS disebut Rp20.000 per buku dengan tujuh mata pelajaran.

Buku itu hanya digunakan sebagai bahan belajar di rumah dan tidak memengaruhi pembelajaran di kelas.

Kepala SDN 017, Dahlina, juga membantah tudingan intimidasi terhadap Shanty Ramadhania, orang tua murid yang menolak membeli LKS.

 

Menurutnya, pertemuan yang sempat dihadiri banyak guru hanya untuk klarifikasi, bukan tekanan.

“Kami menegaskan sejak awal buku itu tidak diwajibkan. Kalau orang tua merasa berat, tidak membeli pun tidak apa-apa. Kami tidak pernah mengancam akan mengeluarkan siswa,” ujar Dahlina.

Ia mengakui sempat menggunakan perumpamaan “gelas setengah dan gelas penuh” untuk menggambarkan manfaat LKS, namun menegaskan itu bukan bentuk paksaan.

“Itu hanya cara kami menjelaskan. Kalau mau materi lebih banyak, silakan membeli. Kalau tidak, tetap belajar di kelas seperti biasa,” ucapnya.

Dahlina menambahkan pihaknya melindungi semua siswa dari potensi perundungan, termasuk anak Shanty. Ia juga meminta maaf jika komunikasi guru menimbulkan kesalahpahaman.

“Kami guru tidak boleh dendam. Kalau ada salah ucap, kami berbesar hati meminta maaf,” kata Dahlina.

Kasus ini mencuat setelah Shanty mempertanyakan pembelian LKS di tengah kebijakan Pemkot Samarinda yang menggratiskan LKPD bagi siswa sekolah negeri.

Ia sempat melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang.

Baca juga: Wali Murid Heran Disuruh Bayar LKS Rp 140 Ribu Padahal Pemkot Sudah Gratiskan, Malah Dibentak Guru

Shanty menuturkan, informasi pembelian LKS itu beredar melalui grup percakapan paguyuban orang tua murid sejak awal September 2025.

Pesan tersebut berisi rekomendasi pembelian buku di rumah salah satu guru, lengkap dengan tautan lokasi.

“Awalnya saya kira tidak wajib, karena tulisannya hanya direkomendasikan. Tapi kemudian dijelaskan kalau buku ini penting untuk menunjang nilai. Kepala sekolah bahkan mengibaratkan, ‘Ibu mau nilainya setengah gelas atau penuh sampai bibir?’,” kata Shanty saat ditemui, Jumat (26/9/2025).

Menurut Shanty, setiap buku LKS dijual Rp 20.000 dengan total Rp 140.000 untuk tujuh mata pelajaran.

Buku tersebut bukan bagian dari paket LKS yang disediakan Pemkot, melainkan terbitan penerbit swasta.

Ia mengaku sempat mempertanyakan hal ini kepada wali kelas melalui pesan pribadi, tetapi tidak mendapat jawaban.

Shanty kemudian mendatangi sekolah dan bertemu dua guru, sebelum akhirnya berbicara dengan kepala sekolah melalui telepon.

“Kepala sekolah bilang tidak wajib, tapi menegaskan buku itu penting untuk menambah nilai. Kalau begitu, kan tetap terasa wajib,” ujar Shanty.

Shanty juga mengungkap adanya intimidasi saat pertemuan.

Ia menyebut dihadapkan dengan sekitar 10 guru yang meminta dirinya melapor langsung kepada Wali Kota Samarinda, Andi Harun.

“Saya dibentak dan diminta menghadirkan Pak Wali Kota kalau mau protes. Bahkan sempat ada ancaman anak saya bisa dikeluarkan karena saya dianggap orang tua yang tidak bisa diatur,” katanya.

Meski telah melapor ke Dinas Pendidikan Samarinda, Shanty mengaku khawatir mental anaknya terganggu akibat potensi perundungan atau perlakuan diskriminatif di sekolah.

Sebelumnya, Kepala Disdikbud Samarinda, Asli Nuryadin, menegaskan bahwa mulai Juli, sekolah tidak diperbolehkan lagi mewajibkan siswa membeli buku, termasuk LKS yang kini berganti nama menjadi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD).

Untuk mengatasi hal ini, Pemkot Samarinda akan mencetak dan mendistribusikan LKPD kepada siswa berdasarkan data yang tercatat di Disdikbud.

"Mulai Juli nanti, Pemkot sudah mengantisipasi pencetakan buku melalui Disdikbud" ujar Asli.

Asli menegaskan, dengan adanya buku wajib dari BOSNAS dan LKPD gratis dari Pemkot, tidak boleh lagi ada transaksi jual beli buku di sekolah.

"Jadi sekarang, buku wajib dan LKPD itu enggak ada lagi cerita transaksi di sekolah," pungkasnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved